Sabtu, 09 Januari 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain. Reseptor pada badian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfactory otak, yang terletak di bawah lipatan frontal (frontal lobes).

Adaptasi sensoris pada indera ini kentara sekali. Orang yang telah terbiasa dengan lingkungannya seperti itu. Penciuman merupakan proses yang kompleks. Para ahli sampai sekarang belum dapat menjelaskan bagaimana gas itu merangsang syaraf-syaraf reseptor dalam hidung sehingga timbul bau yang beraneka ragam.

Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu. Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari 60 tahun. Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi.

B. Permasalahan

Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang berhadapan. Akson dari sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus olfaktorius yang menuju ke otak.

Indera penghidu/pembau yang merupakan fungsi saraf olfaktorius (N.I), sangat erat hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama. Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepetiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fosa kranii anterior. Hilangnya fungsi pembauan dan/atau pengecapan dapat mengancam jiwa penderita karena penderita tak mampu mendeteksi asap saat kebakaran atau tidak dapat mengenali makanan yang telah basi. Karena sekitar 80% gangguan pengecapan merupakan kelainan pembauan yang sejati maka artikel ini terutama difokuskan pada fungsi pembauan dan penurunannya. Hasil survei tahun 1994 menunjukkan bahwa 2,7 juta penduduk dewasa Amerika menderita gangguan pembauan, sementara 1,1 juta dinyatakan menderita gangguan pengecapan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya menemukan bahwa 66% penduduk merasakan bahwa mereka pernah mengalami penurunan ketajaman pembauan.

Reseptor organ penghidu terdapat di regio olfaktorius di hidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa kranii anterior. Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut hiposmia bila daya menghidu berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, dan disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu. Disosmia terbagi lagi menjadi phantosmia (persepsi adanya bau tanpa ada stimulus) dan parosmia atau troposmia (perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya stimulus).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama. Pada neonatus, daerah ini merupakan suatu lembar neural yang padat, namun pada anak-anak dan dewasa terbentuk interdigitasi antara jaringan respiratorius dan olfaktorius. Dengan bertambahnya usia seseorang, jumlah neuron olfaktorius ini lambat laun akan berkurang. Selain neuron olfaktorius, epitel ini juga tersusun oleh sel-sel penopang yaitu duktus dan glandula Bowman yang sifatnya unik pada epitel olfaktorius dan sel basal yang berfungsi pada regenerasi epitel (http://thtkl.wordpress.com).

Sensasi pembauan diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh bahan-bahan kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama. Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari. Reseptor odorant termasuk bagian dari G-protein receptor superfamily yang berhubungan dengan adenilat siklase. Manusia memiliki beratus-ratus reseptor olfaktorius yang berbeda, namun tiap neuron hanya mengekspresikan satu tipe reseptor. Inilah yang mendasari dibuatnya peta pembauan (olfactory map). Neuron yang menyerupai reseptor yang terdapat di epitel mengirimkan akson yang kemudian menyatu dalam akson gabungan pada fila olfaktoria didalam epitel (http://thtkl.wordpress.com).

Aspek-aspek molekuler dari penciuman kini telah dipahami. Pada mammalia, kemungkinan ada 300-1000 gen reseptor penciuman yang termasuk dalam 20 keluarga yang berbeda yang terletak di berbagai kromosom dalam kelompok-kelompok. Gen-gen reseptor ditemukan pada lebih dari 25 lokasi kromosom manusia. Protein-protein reseptor penciuman adalah reseptor-reseptor tergabung protein G yang ditandai oleh keberadaan domain transmembran 7 alfa-helikal. Masing-masing neuron penciuman hanya mengekspresikan satu, atau paling banyak beberapa, gen reseptor, menjadi dasar molekuler untuk pembedaan bau. Maka sistem penciuman ditandai oleh tiga hal yang penting, yaitu:

1) keluarga gen reseptor yang besar yang menunjukkan keberagaman yang sangat baik sehingga memungkinkan respon terhadap berbagai bau,

2) protein-protein reseptor yang menunjukkan spesifitas yang hebat sehingga memungkinkan pembedaan bau, dan

3) hubungan-hubungan bau disimpan dalam ingatan lama sesudah peristiwa terjadinya paparan dilupakan (http://thtkl.wordpress.com).

Gangguan pembauan dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma kepala. Berikut adalah defek konduktif dari gangguan penciuman:

1) Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.

2) Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan keganasan.

3) Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.

4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini (http://thtkl.wordpress.com).

Sedangkan untuk defek sentral/sensorineural adalah sebagi berikut:

1) Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.

2) Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak terbentuk VNO.

3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.

4) Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.

5) Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink secara langsung.

6) Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.

7) Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.

8) Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated apoptosis (http://thtkl.wordpress.com).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Anosmia

Salah satu penyakit pada indera penciuman yang mengakibatkan gangguan pada pembauan adalah anosmia. Istilah anosmia berasal dari kosa kata Yunani “an” (tidak) dan “osmia” (membau). Dari kosa kata ini diperoleh suatu terminologi, anosmia adalah hilang atau terganggunya kemampuan indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa sebab. Penyebab terbanyak adalah usia tua. Separuh penduduk Amerika berusia di atas 65 tahun dan tiga perempat di atas usia 80 tahun menderita anosmia dalam derajat yang berbeda-beda.

Anosmia dapat pula terjadi pada usia muda, misalnya karena pukulan keras pada kepala, flu yang tak kunjung sembuh, zat kimia beracun, dan beberapa penyebab lain yang membahayakan jiwa. Diketahui, bagian dalam hidung terlapisi mukosa atau lapisan lembut yang lembap. Sel-sel di dalam mukosa bersentuhan dengan bagian saraf penciuman yang disebut axons, lalu masuk rongga dalam yang dinamakan foramina. Foramina ini berhubungan dengan tengkorak kepala. Sel-sel dan axons-nya berjumlah sekitar 20-24, tersusun sedemikian rupa dan bekerja sinergis dalam mendeteksi aroma. Ujung-ujung saraf tadi berakhir dalam suatu struktur berbentuk gelembung-gelembung penciuman. Oleh karena itu, benturan keras di bagian kepala bisa mengakibatkan anosmia. Selain terkena benturan, kerusakan saraf indra penciuman juga dapat terjadi karena tekanan tumor di area hidung atau kepala. Kondisi ini bisa mencetuskan anosmia total atau kacaunya kinerja saraf, hingga terjadi kesalahan persepsi mengenai aroma. Bau sampah misalnya, dikira bau tempe goreng. Halusinasi bau ini pun bisa terjadi karena gangguan pada otak, misalnya akibat epilepsi.

Bahaya anosmia adalah penderita tak dapat mendeteksi bahaya dari makanan. Misalnya, apakah makanan itu sudah rusak atau basi. Ancaman lainnya, mereka tidak dapat mendeteksi bau gas berbahaya. Hidung mereka leluasa saja menghirup racun yang melayang-layang di udara, hingga si racun bebas menyusup ke paru-paru. Selebihnya, gara-gara tak mampu merasakan aroma, mereka juga tak dapat menikmati makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Dalam banyak kasus, penderita anosmia sering kali menarik diri, lantaran mereka tidak yakin bahwa tubuh mereka tidak menimbulkan bau yang mengganggu orang lain.

Bila anosmia bukan disebabkan oleh tersumbatnya hidung, dokter pun kesulitan mengobatinya. Belakangan, sudah ada obat tertentu yang mampu meringankan derita anosmia, namun tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Beberapa jenis obat cukup efektif, namun berefek samping terlalu berat, yakni menekan sistem kekebalan. Anosmia kadang-kadang hanya bersifat sementara. Tidak seperti sel reseptor indra yang lain, sel-sel indra penciuman mengalami regenerasi. Artinya, seseorang yang tiba-tiba kehilangan kemampuan membaui, biasanya dapat pulih dengan berkali-kali mencoba mengenali bau-bauan tajam yang semula tidak terdeteksi. Selebihnya, karena kondisi tertentu, seseorang bisa kehilangan kemampuan membaui selama beberapa menit, lalu pulih kembali pada menit berikutnya. Misalnya karena hawa sekitar terlalu dingin atau padatnya zat polutan. Anosmia terbagi menjadi dua (2) yaitu:

  1. Intranasal : obstruksi hidung (rhinitis vasomotor, rhinitis alergi, tumor hidung, polip, tumor nasofaring), Rhinitis atrofikan, def.vitamin A, Zinc
  2. Intrakranial : trauma kepala, infeksi (abses otak lob.frontalis, meningitis pd lob.frontalis), tumor lob.fr.

Terdapat juga jenis gangguan pada anosmia, yakni:

  1. Konduktif anosmia : Anosmia yang disebabkan oleh adanya gangguan konduksi partikel-partikel bau menuju ke celah olfaktoria
  2. Neuronal anosmia : Gangguan pada fungsi epitel olfaktorius atau gangguan pada jalur saraf olfaktorius

B. Penyebab Anosmia

Anosmia adalah ketidakmampuan penciuman/ penghidu sebagian atau total kehilangan sensasi penciuman. Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf. Anosmia biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena common cold (influenza), anosmia dapat juga disebabkan karena setelah operasi kepala atau alergi akut atau kronik. Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu. Sensasi penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau meningioma, sinus nasal atau operasi otak. Dapat juga disebakan karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco adalah konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat menyebabkan seorang menderita anosmia. Faktor siklus hormonal atau gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia dapat juga terjadi karena beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi.

1. Mata rantai infeksi

Indera penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia kita (chemosensation). Proses yang kompleks dari “mencium dan mengecap” dimulai ketika molekul-molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus di hidung, mulut, atau tenggorokan. Sel-sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus diidentifikasi. Sel-sel olfactory (syaraf penciuman) distimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contohnya aroma dari mawar, bau adonan roti. Sel-sel syaraf ini ditemukan di sebuah tambalan kecil dari jaringan terletak di atas dalam hidung, dan mereka terhubung secara langsung ke otak. Penciuman (olfaction) terjadi karena adanya molekul-molekul yang menguap dan masuk ke saluran hidung dan mengenai olfactory membrane. Manusia memiliki kira-kira 10000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara masuk, maka sl-sel ini akan mengirimkan impuls saraf.

Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel-sel olfaktorius menyebabkan reseptor tidak dapat meneruskan impuls menuju susunan syaraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari syarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun kerusakan dari susunan syaraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk. Gejala klinis dengan hilangnya sensasi penciuman dapat juga menyebabkan kehilangan sensasi pengecap. Penyimpangan fungsi penciuman dan pengecap menyebabkan nafsu makan berkurang, penderita tidak dapat membedakan rasa.

2. Strategi pengendalian penyakit

Kehilangan sensasi penciuman hanya bersifat sementara, dan kemampuan penciuman akan kembali secara spontan, biasanya setelah flu atau infeksi virus. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi penciuman antara lain:

a) Antihistamin apabila diindikasikan pada penderita alergi.

b) Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.

c) Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongestan nasal dapat membantu.

d) Suplemen zinc kadang-kadang direkomendasikan. Anosmia akibat proses degenerasi tidak ada pengobatannya. Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat diobati.

C. Tahap Pencegahan Penyakit

1. Spesific promotion

Tergantung kepada penyebabnya, bisa dilakukan hal-hal berikut:

a) Merubah atau menghentikan pemakaian obat-obat yang diduga menjadi penyebab terjadinya kelainan ini.

b) Menjaga agar mulut tetap basah dengan cara mengulum permen.

c) Menunggu beberapa minggu untuk melihat perkembangan selanjutnya.

d) Tambahan seng (bisa dibeli bebas maupun dengan resep dokter) bisa mempercepat penyembuhan, terutama pada kelainan yang timbul setelah serangan flu.

2. Diagnosis awal (early diagnostic)

Untuk mengerti apa penyebab dari permasalahannya penting untuk dilakukan:

a) Anamnesa menanyakan riwayat penyakit dan keluhan, serta pemeriksaan kepala dan leher. Mengetahui awitan dan perkembangan kelainan penciuman dapat menjadi hal yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis etiologik. Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan, hanya dapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung. Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.

b) CT-scan dan Rontgen kepala. CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus.

c) Ukuran kuantitatif spesifik dari fungsi penciuman perlu dilakukan tes, berupa “tes scratch and shiff” untuk mengevaluasi indera penciuman.

d) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan pos terior untuk melihat apakah terdapat kelainan obstruksi hidung, perubahan mukosa hidung, tanda-tanda infeksi dan adanya tumor.

e) Pemeriksaan penunjang, dengan pemeriksaan penghidu sederhana. Pasien dicoba untuk menghidu alkohol, kopi, minyak wangi dan skatol (feses), kemudian amoniak untuk merangsang N. Trigeminus bukan N. Olfaktorius. Transiluminasi sinus adalah tes dimana untuk menentukan apakah adanya air-fluid-level pada hasil gambaran yang menunjukkan adanya sinusitis.

f) Jika memungkinkan pemeriksaan laboratorium; gula darah, reduksi urin dan lain-lain dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang.

3. Perawatan efektif pada penderita (prompt treatment)

Pemeriksaan sensorik fungsi penciuman dibutuhkan untuk:

a. memastikan keluhan pasien

b. mengevaluasi kemanjuran terapi, dan

c. menentukan derajat gangguan permanen.

Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman, yaitu:

a. Tes Odor stix–Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.

b. Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.

d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip seperti bau coklat, pisang, bawang putih, atau jus buah,” dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui rangsangan trigeminal.

Langkah kedua menentukan ambang deteksi
Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

4. Pencegahan kecacatan (disability limitation)

Terapi yang efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu pengelolaan alergi, terapi antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.

Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya, konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.

5. Rehabilitasi (rehabilitation)

Pada penderita anosmia dapat dilakukan rehabilitasi sebagai berikut:

a) Perbaiki penyebab obstruksi nasi

b) Pemberian Vit A 100.000 IU sekali sehari selama 2 minggu diikuti 50.000 sekali sehari selama 6-12 minggu

c) Zink sulfat 220 mg/oral 3 kali sehari

d) Prednison 60 mg/hr selama 3 hari diikuti 40 mg/hr utk 3 hari berikutnya, 20 mg/hr utk 3 hr berikutnya, 10 mg/hr selama 2 hari dan 5 mg utk hari terakhir

e) Penambahan aroma makanan pada masakan

f) Mengunyah makanan lebih lama

g) Edukasi

D. Peran Keluarga dalam Usaha Pencegahan Penyakit

Penyakit anosmia dapat menjadi penyakit yang permanen maupun sementara. Hal ini tergantung dari perawatan penderita dan jenis pengobatan serta penyebab dari penyakit anosmia tersebut. Dalam upaya penanganan penyakit anosmia ini perlu adanya peran keluarga. Peran keluarga sangat penting untuk proses pencegahan, penyembuhan dan pemulihan penyakit anosmia. Peran keluarga dapat dilakukan dengan upaya sebagai berikut:

1. Memperhatikan perilaku penderita yang dapat menyebabkan penyakit bertambah parah. Misalnya dengan melarang penderita merokok, pengurangan obat-obat yang dapat menyebabkan gangguan penciuman bertambah parah.

2. Pemberian suplemen seperti seng untuk penyembuhan gangguan anosmia.

3. Memberi makanan yang banyak mengandung vitamin A kepada penderita untuk proses penyembuhan anosmia.

4. Selalu mendukung penderita bahwa penyakit tersbut akan sembuh sehingga penderita tidak merasa diisolasi dan menumbuhkan semangat penderita untuk sembuh. Hal ini dapat dilakukan dengan menganjurkan penderita untuk mengontrol perkembangan penyakit tersebut, yaitu dengan periksa ke dokter dan melakukan tes penciuman.

5. Memancing indera penciuman penderita dengan menggunakan benda-benda yang berbau khas guna merangsang indera penciuman penderita pulih kembali.

6. Apabila dalam tahap rehabilitas, maka menghindarkan penderita dari hal yang dapat menyebabkan penyakit kambuh lagi, melakukan terapi kepada penderita untuk menghindari kecacatan atau gangguna permanen pada pembauan.

7. Memberikan edukasi dan informasi kepada penderita maupun anggota keluarga yang lain yang tidak menderita anosmia tentang factor resiko yang dapat menyebabkan anosmia, sehingga penyakit anosmia dapat diminimalisir.

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa anosmia adalah ketidakmampuan penciuman/ penghidu sebagian atau total kehilangan sensasi penciuman. Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan syaraf. Anosmia biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena common cold (influenza), anosmia dapat Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu. Sensasi penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau meningioma, sinus nasal atau operasi otak. Dapat juga disebabkan karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco adalah konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat menyebabkan seorang menderita anosmia. Faktor siklus hormonal atau gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia dapat juga terjadi karena beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi.

B. Saran

1. Hindari penggunaan obat yang dapat menyebabkan anosmia.

2. Mengurangi atau menghindari merokok karena sebagai salah satu penyebab anosmia.

3. Perbanyak makan yang mengandung zinc atau seng dan vitamin A.

4. Tingkatkan peran serta keluarga dalam upaya penyembuhan maupun pencegahan anosmia.

5. Segera periksakan ke dokter apabila terjadi gangguan pada indera penciuman untuk mengetahui diagnosis awal.

DAFTAR PUSTAKA

Akil, M. Amsyar. 2007. Penghidu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/Microsoft% 0PowerPoint%20-%20Gangguan%20penghidu%20dan%20pengecapan.pdf. diakses tanggal 31 Oktober 2009.

Anonym. 2006. Proses Penginderaan dan Persepsi. Universitas Gunadharma. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_3.pdf. diakses tanggal 31 Oktober 2009

________.2008. Anosmia. http://ilmukedokteran.net/pdf/Daftar-Masalah-Individu/anosmia.pdf. diakses tanggal 31 Oktober 2009

Kris. 2008. Gangguan Penciuman atau Penghidu. http://thtkl.wordpress.com/2008/09/25/gangguan-penciumanpenghindu/. diakses tanggal 31 Oktober 2009